Toleransi
Antarumat Beragama Cerminan Bhineka Tunggal Ika
Oleh
Luh
Ade Widiantari
Umat
beragama adalah umat yang saling menghargai, menghormati, dan mampu beradaptasi
dengan umat beragama lainnya dengan baik menurut sudut pandang agama dan
dianutnya. Toleransi antarumat beragama juga berpengaruh terhadap cerminan dari
Bhineka Tunggal Ika yang artinya berbeda-beda tetapi tetap satu jua. Begitu
arti simbol dari Bhineka Tunggal Ika. Arti simbol tersebut dapat diubah dan
saat ini arti simbol sudah dikenal di seluruh penjuru Indonesia. Toleransi
adalah suatu sikap atau perilaku yang saling menghormati dan saling menghargai
antarkelompok atau antarindividu dalam masyarakat atau dalam lingkup lainnya. Toleransi
antarumat beragama dimulai dari diri sendiri agar terciptanya saling
menghormati dan menghargai antarumat beragama lainnya.
Menurut A. A. Gede Ngurah mengatakan toleransi
yang diterapkan sangat tinggi untuk umat agama lainnya. A. A. Gede Ngurah
sebagai kelian Pura Taman Sari sudah masa jabatan 8 tahun. Menjabat kelian Pura
tidak mudah. Banyak perubahan yang dilakukan demi perubahan Pura Taman Sari.
Ratusan tahun yang lalu pura sudah berdiri, tetapi sebelumnya bernama Pura
Gerojogan, kemudian berubah nama menjadi Pura Taman Sari sejak 1968. Pura
Gerojogan yang saat itu terkenal sakralnya di Buleleng tahun 1801. Masjid belum
didirikan hanya pura yang lebih dahulu ada di Jalan Pulau Selayar. Selain itu,
fenomena dari Pura Taman Sari disungsung oleh Subak Kayupas. Pura Pamayun
Banyuning juga nunas tirta di Pura Taman Sari serta melakukan persembahyangan.
Banyak masyarakat yang percaya dengan Pura Taman Sari dan masyarakat selalu berdatangan
melakukan persembahyangan termasuk mahasiswa Undiksha.
A.A. Gede
Ngurah menjadi kelian pura telah membuat Pura Taman Sari menjadi lebih baik.
Mulai dari patung, piasan, dan adanya wantilan. “Dilihat dari tahun sebelumnya,
Pura Taman Sari tidak ada perubahan karena kelian pura beda pemikiran dengan
kelian yang sekarang,” jelas Gede Ngurah. Masyarakat mulai berbaur dengan umat
agama lainnya dan ingin mendirikan sebuah masjid di dekat Pura Taman Sari. A.A.
Gede Ngurah mengatakan pembangunan masjid telah disetujui dan ia juga
memberikan toleransi terhadap umat agama Islam. A.A. Gede Ngurah sangat terbuka
dengan masyarakat sehingga ia menerapkan sistem toleransi yang baik dan benar,
serta ia memberikan pelajaran kepada generasi muda saat ini. Moh. Bakri (53)
adalah seorang pengurus masjid di Jalan Pulau Selayar 21 dan berasal dari Madura.
Menjadi pengurus masjid sejak tahun 1978 hingga sekarang. Menurut Moh. Bakri yang
merupakan pengurus Masjid di Jalan Pulau Selayar 21 mengatakan bahwa zaman dulu
masyarakat menyebut sebagai musolla bukan masjid. Ketika musolla yang berdiri
sejak tahun 1942 itu berubah nama menjadi Masjid Al-Maimuni.
Masyarakat
hidup rukun dan damai tanpa adanya masalah karena masyarakat menerapkan sistem
toleransi yang dikatakan oleh A.A. Gede Ngurah, yaitu kejujuran, kebaikan, dan
kebenaran. Selain itu, masyarakat di sana membangun usaha tempe dan tahu. Usaha
tersebut terkenal sehingga banyak mahasiswa yang berkunjung dan melakukan
observasi mengenai cara pembuatan tempe, tahu. Akhirnyya, hasil observasi dijadikan sebuah penelitian oleh
mahasiswa. Moh. Bakri mengatakan bahwa mahasiswa tidak hanya berkunjung cara
membuat tahu dan tempe, tetapi mahasiswa juga berkunjung ke Pura Taman Sari untuk
bergotong royong. Pada akhirnya Masjid Al-Maimuni dan Pura Taman Sari menjadi
satu di Jalan Pulau Selayar sampai saat ini.
Pura dan masjid
dekat dengan pantai. Masyarakat mulai beradaptasi dengan lingkungan mereka masing-masing. Menurut Moh.
Bakri ketika umat Islam membuat acara besar, seperti Idul Fitri, sebagian warga
memotong hewan kurban. Setelah mereka memotongnya, kemudian warga memberikan
kepada umat lain dalam bentuk silaturahmi. Sebaliknya umat Hindu memiliki acara
yang besar, seperti perkawinan umat lain mengadakan kunjungan. Begitu juga saat
umat Hindu merayakan Hari Raya Galungan dan Kuningan, umat Hindu umat lain ikut
membantu menertibkan parkir meskipun sudah ada pecalang yang mengatur. Seiring
berjalannya waktu, hal itu sering dilakukan agar tidak terjadi pertentangan antarsesama
umat agama lainnya dan selalu terjalin hubungan yang rukun serta harmonis. Moh.
Bakri mengatakan selama tinggal bersama dengan umat agama lain tidak pernah terjadi
konflik atau pertentangan. Mereka menjalaninya dengan baik hingga saat ini. Moh.
Bakri menambahkan pengurus pura atau masjid harus membagi jalan menjadi dua untuk
pengendara motor dan mobil saat memiliki acara besar. Hal itu dilakukan karena
jalan tersebut sempit dan tidak boleh sembarangan parkir di area masjid atau pura.
Mengindari
kemacetan, tentunya warga saling membantu mengurus parkir meskipun ada pecalang
atau petugas masjid yang menjaga pada setiap area. Tidak hanya pura dan masjid
yang ada di Jalan Pulau Selayar, tetapi ada wihara. “Pembangunan wihara sudah
dilakukan sejak 57 tahun yang lalu, “ungkap A.A. Gede Ngurah. Wihara yang
berada di Jalan Pulau Suraga itu banyak dikunjungi oleh umat Budha. Selain itu,
terdapat juga perumahan kecil yang ditempati oleh umat Kristen dan Katolik. Semua
umat beragama yang ada di Jalan Pulau Selayar hidup rukun, saling menghargai,
dan saling menghormati satu sama lain. Dengan demikian, keragaman yang ada
diantara umat beragama tetap menjadi warna sangat indah yang mewarnai Bumi
Panji Sakti yang terbalut oleh kebhinekaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar