Selasa, 14 November 2017

Opini

Toleransi Antarumat Beragama Cerminan Bhineka Tunggal Ika
Oleh
Luh Ade Widiantari

            Umat beragama adalah umat yang saling menghargai, menghormati, dan mampu beradaptasi dengan umat beragama lainnya dengan baik menurut sudut pandang agama dan dianutnya. Toleransi antarumat beragama juga berpengaruh terhadap cerminan dari Bhineka Tunggal Ika yang artinya berbeda-beda tetapi tetap satu jua. Begitu arti simbol dari Bhineka Tunggal Ika. Arti simbol tersebut dapat diubah dan saat ini arti simbol sudah dikenal di seluruh penjuru Indonesia. Toleransi adalah suatu sikap atau perilaku yang saling menghormati dan saling menghargai antarkelompok atau antarindividu dalam masyarakat atau dalam lingkup lainnya. Toleransi antarumat beragama dimulai dari diri sendiri agar terciptanya saling menghormati dan menghargai antarumat beragama lainnya.
             Menurut A. A. Gede Ngurah mengatakan toleransi yang diterapkan sangat tinggi untuk umat agama lainnya. A. A. Gede Ngurah sebagai kelian Pura Taman Sari sudah masa jabatan 8 tahun. Menjabat kelian Pura tidak mudah. Banyak perubahan yang dilakukan demi perubahan Pura Taman Sari. Ratusan tahun yang lalu pura sudah berdiri, tetapi sebelumnya bernama Pura Gerojogan, kemudian berubah nama menjadi Pura Taman Sari sejak 1968. Pura Gerojogan yang saat itu terkenal sakralnya di Buleleng tahun 1801. Masjid belum didirikan hanya pura yang lebih dahulu ada di Jalan Pulau Selayar. Selain itu, fenomena dari Pura Taman Sari disungsung oleh Subak Kayupas. Pura Pamayun Banyuning juga nunas tirta di Pura Taman Sari serta melakukan persembahyangan. Banyak masyarakat yang percaya dengan Pura Taman Sari dan masyarakat selalu berdatangan melakukan persembahyangan termasuk mahasiswa Undiksha.
A.A. Gede Ngurah menjadi kelian pura telah membuat Pura Taman Sari menjadi lebih baik. Mulai dari patung, piasan, dan adanya wantilan. “Dilihat dari tahun sebelumnya, Pura Taman Sari tidak ada perubahan karena kelian pura beda pemikiran dengan kelian yang sekarang,” jelas Gede Ngurah. Masyarakat mulai berbaur dengan umat agama lainnya dan ingin mendirikan sebuah masjid di dekat Pura Taman Sari. A.A. Gede Ngurah mengatakan pembangunan masjid telah disetujui dan ia juga memberikan toleransi terhadap umat agama Islam. A.A. Gede Ngurah sangat terbuka dengan masyarakat sehingga ia menerapkan sistem toleransi yang baik dan benar, serta ia memberikan pelajaran kepada generasi muda saat ini. Moh. Bakri (53) adalah seorang pengurus masjid di Jalan Pulau Selayar 21 dan berasal dari Madura. Menjadi pengurus masjid sejak tahun 1978 hingga sekarang. Menurut Moh. Bakri yang merupakan pengurus Masjid di Jalan Pulau Selayar 21 mengatakan bahwa zaman dulu masyarakat menyebut sebagai musolla bukan masjid. Ketika musolla yang berdiri sejak tahun 1942 itu berubah nama menjadi Masjid Al-Maimuni.
Masyarakat hidup rukun dan damai tanpa adanya masalah karena masyarakat menerapkan sistem toleransi yang dikatakan oleh A.A. Gede Ngurah, yaitu kejujuran, kebaikan, dan kebenaran. Selain itu, masyarakat di sana membangun usaha tempe dan tahu. Usaha tersebut terkenal sehingga banyak mahasiswa yang berkunjung dan melakukan observasi mengenai cara pembuatan tempe, tahu. Akhirnyya,  hasil observasi dijadikan sebuah penelitian oleh mahasiswa. Moh. Bakri mengatakan bahwa mahasiswa tidak hanya berkunjung cara membuat tahu dan tempe, tetapi mahasiswa juga berkunjung ke Pura Taman Sari untuk bergotong royong. Pada akhirnya Masjid Al-Maimuni dan Pura Taman Sari menjadi satu di Jalan Pulau Selayar sampai saat ini.
Pura dan masjid dekat dengan pantai. Masyarakat mulai beradaptasi dengan  lingkungan mereka masing-masing. Menurut Moh. Bakri ketika umat Islam membuat acara besar, seperti Idul Fitri, sebagian warga memotong hewan kurban. Setelah mereka memotongnya, kemudian warga memberikan kepada umat lain dalam bentuk silaturahmi. Sebaliknya umat Hindu memiliki acara yang besar, seperti perkawinan umat lain mengadakan kunjungan. Begitu juga saat umat Hindu merayakan Hari Raya Galungan dan Kuningan, umat Hindu umat lain ikut membantu menertibkan parkir meskipun sudah ada pecalang yang mengatur. Seiring berjalannya waktu, hal itu sering dilakukan agar tidak terjadi pertentangan antarsesama umat agama lainnya dan selalu terjalin hubungan yang rukun serta harmonis. Moh. Bakri mengatakan selama tinggal bersama dengan umat agama lain tidak pernah terjadi konflik atau pertentangan. Mereka menjalaninya dengan baik hingga saat ini. Moh. Bakri menambahkan pengurus pura atau masjid harus membagi jalan menjadi dua untuk pengendara motor dan mobil saat memiliki acara besar. Hal itu dilakukan karena jalan tersebut sempit dan tidak boleh sembarangan parkir di area masjid atau pura.

Mengindari kemacetan, tentunya warga saling membantu mengurus parkir meskipun ada pecalang atau petugas masjid yang menjaga pada setiap area. Tidak hanya pura dan masjid yang ada di Jalan Pulau Selayar, tetapi ada wihara. “Pembangunan wihara sudah dilakukan sejak 57 tahun yang lalu, “ungkap A.A. Gede Ngurah. Wihara yang berada di Jalan Pulau Suraga itu banyak dikunjungi oleh umat Budha. Selain itu, terdapat juga perumahan kecil yang ditempati oleh umat Kristen dan Katolik. Semua umat beragama yang ada di Jalan Pulau Selayar hidup rukun, saling menghargai, dan saling menghormati satu sama lain. Dengan demikian, keragaman yang ada diantara umat beragama tetap menjadi warna sangat indah yang mewarnai Bumi Panji Sakti yang terbalut oleh kebhinekaan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Seni Lukis

Pengertian Seni Lukis             Seni lukis adalah salah satu cabang dari seni rupa yang tercipta dari hasil imajinasi seniman yang die...